Artikel

RANUP ACEH (banyak makna dan tujuan)
Memuliakan tamu dengan menyuguhkan sirih. Memuliakan sahabat lewat tutur kata yang manis. Dua bait sair Aceh itu menggambarkan tentang makna sirih (ranub) dalam adat istiadat Aceh. Hingga Ranup dikreasikan dalam satu tarian khas Aceh, Ranub lampuan. Tari itu sebagai simbol pemuliaan terhadap tamu. Ranup sigapu juga sering kita baca dalam banyak buku yang bermakna sebagai permulaan. Artinya, Ranup menjadi symbol prosesi atau mengawali sebuah kegiatan, Esensi Ranup dalam adat Aceh sebagai sikap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan kerukunan hidup yang dilengkapi dalam satu wadah disebut Puan. Dalam manuskrip adat Aceh, perangkat ranub selalu dipergunakan dalam upacara-upacara kebesaran Sultan. Pemeriahan arak-arakan raja dari istana sampai Mesjid Baiturrahman.

Ranup kemudian menjadi perangkat adat Aceh. Mulai acara resmi seperti pra dan pasca melahirkan, prosesi peminangan, pernikahan, hajatan sunat, hingga acara penguburan mayat, dan lainnya, Ranub menjadi salah menu wajib adat untuk dihidangkan. Ranub juga menjadi media dalam upacara mengantar anak mengaji untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, Ranub telah menjadi lambang formalitas yang memadukan adat dan budaya dalam interaksi masyarakat Aceh.

Ranup atau disebut piper betle, sejenis tanaman rambat (terna). Daun, batang dan buahnya menjadi obat tradisional ataupun menjadi tumbuhan penyegar. Maka munculnya tradisi makan sirih (ranub). Sebagai ditulis Ibnu Batutah dan Vasco da Gama, masyarakat Timur sejak dulu telah memiliki kebiasaan memakan ranub. Maka dalam setiap suguhan Ranup dalam puan juga diisi pinang, gambir, kapur ranub, cengkeh, tembakau dan disertai pula rampago sebagai alat sebagai pemotongnya. Maka ranub yang awalnya bersifat sederhana menjadi lebih kompleks.

Ranub dalam ranah adat dan budaya Aceh memiliki berbagai makna simbol yaitu;

simbol kemuliaan (pemulia jamee), penenang dalam menyatukan pendapat dalam suatu musyawarah (sapeu kheun ngon buet), dan penyambung silaturrahmi sesamanya (meu-uroh).
Ranub melambangkan sifat rendah hati dan cinta kasih,
Pinang melambangkan baik budi pekertinya dan jujur serta memiliki derajat yang tinggi;
Gambir melambangkan keteguhan hati, Kapur melambangkan ketulusan hati,
Cengkeh melambangkan keteguhan memegang prinsip, dan
Tembakau melambangkan hati yang tabah dan bersedia berkorban dalam segala hal.

Sementara Bate ranup (Puan) yang menjadi wadahnya melambangkan keindahan budi pekerti dan akhlak yang luhur. Wadah tersebut sebagai satu kesatuan yang melambangkan sifat keadatan. Maka ke depan modifikasi kemasan ranub ini perlu diperhatikan, bagaimana anak-anak Aceh tidak asing dengan budayanya dari pemakan ranub kini menjadi pengkomsumsi narkoba dan produk-produk luar untuk pencitraan modern dan di tempat asalnya juga makanan ini sudah dianggap sebagai makanan jalanan atau makanan sampah, yang kita harus pikir kan apa yang harus kita buat agar budaya kita ini jangan sampai hilang, dan tradisi adat yang udah berpuluh tahun di ciptakan dan di jalankan sama masyarakat aceh dulunya. Kita generasi muda udah menganggap budaya kita kampungan, padahal terlalu banyak makna dan tujuannya. Budaya aceh sungguh indah dan berpotensi.


Sejarah singkat Aceh
Kuta Raja abad ke-15 adalah sejarah mata rantai yang sangat panjang ke emasan di bawah Kerajaan “ Sultan Iskandar Muda”. Kuta Raja yang rame konsentarisi pemerintahan yang di dalam mencakup dalam beberapa unsur Politik, Ekonomi, Pertahanan dan Sosial-Budaya. Nama Aceh di kenal sampai seluruh jagad dunia, Sehingga hubungan perdagangan berkembang sampai ke MancaNegara, sejarah terus berputar sehingga pada abad ke-18 rakyat Aceh bergejolak menghadapi goncang serangan Belanda, namun perperangan perlawanan pun berkobar demi mendapatkan kebebasan dari jajahan Belanda. Pahlawan-Pahlawan Aceh bermunculan menghadapi serang dan agresi dari Colonial Belanda, mulai dari tahun 1873 sampai dengan tahun 1904 pada waktu yang cukup lama banyak dari rakyat Aceh gugur dalam peperangan melawan penjajah dan akhirnya pada saat itu aceh terbebas dari pihak kolonia Belanda dan jepang. Masa demi masa telah berlalu dan roda kehidupan terus berputar selih bergantinya zaman sejagad raya, sehingga Banda Aceh menjadi salah satu Pusat Pemerintahan, Pusat Pendidikan, Pusat Ekonomi-Perdagangan, Pusat Perkembangan Agama, Pusat Perkembangan Sosial-Politik, Mengakarnya adat seni budaya serta mempersembahkan damai dan sejahtera.

Tapi dalam perjalanan waktu, Aceh mengalami konflik yang berkepanjangan dera dan pahit yang di alami pada semua rakyat Aceh pada umumnya, konflik yang berkepanjangan telah menelan banyak pengorbanan rakyat, semua seakan tidak bertepi. Derita itu bertambah pedih saat Aceh di guncang bencana, yaitu bencana yang terbesar di dunia. Banda Aceh 26 Desember 2004 di guncang dengan Gempa dahsyat dan di gulung oleh Tsunami, lebih dari 125 ribu meninggal dan puluhan ribu bangunan lenyap seketika. Hari-hari yang penuh tangis, hari-hari yang penuh kelam menghitung jasad manusia, dimana hari yang sangat bersejarah bagi rakyat Aceh dan di kenang oleh seluruh dunia. Musibah sepanjang sejarah ini mengu’ak rahasia tuhan, dentuman meriam dan bom atau rentetan suara senapan mesin yang menyala sepanjang waktu mendadak berhenti. Hikmah bencana Gempa-Tsunami bertakdir rasakan, pada tanggal 15 Agustus 2005 terbentang garis perdamaian antara RI dan GAM yang sekian lama berperang, bersamaan dengan itu seluruh dunia memberi perhatian dan bantuan kepada rakyat Aceh dan Aceh mulai bangkit kembali suasana damai membangun tekat memenuhi di rongga dada, Aceh yang telah lama tak merasakan susuana itu akhirnya kembali merasakannya. Hari demi hari suasana damai dan rehabilitasi di segala bidang telah membuat Aceh Bangkit kembali. Dan Aceh mulai meluncurkan Visit Banda Aceh 2011, hal ini menandakan bahwa Banda Aceh telah menjadi salah satu destinasi pariwisata yang harus dikunjungi bukan saja oleh wisatawan nusantara tapi juga mancanegara dan juga menjadi momentum kebangkitan pariwisata di Banda Aceh pada khususnya dan Aceh pada umumnya.


Undang-undang Kehutanan Madul

JANGAN heran jika mendengar berita di media, cukong illegal logging di vonis bebas oleh pengadilan atau pelaku lapangan perambahan hutan dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara. Ditengah gencarnya departemen kehutanan dan pihak kepolisian melakukan berbagai operasi terpadu pemberantasan illegal logging semakin gencar pula para cukong kayu membabat hutan aceh. Apa yang menjadi akar persoalannya ? karena mandulnya instrumen hukum, khususnya UU 41/1999 tentang kehutanan yang tak mampu menjawab dan menjerat pelaku utama melainkan hanya menangkapi pelaku lapangan yang menjadi korban ketidakmapanan secara ekonomi.

Niat baik pemerintah dengan menggelar berbagai operasi terpadu pemberantasan illegal logging, justru tak lebih dari pelaksanaan project oriented kesepakatan dana utang dengan Consultative Group on Indonesia (CGI) tentang reformasi dibidang kehutanan, salah satu diantaranya adalah pemberantasan illegal logging, indikator project oriented ini dapat dilihat dari banyaknya pelaku lapangan yang ditangkap dibandingkan aktor utama dan para beking yang terlibat, dan titik lemahnya ada pada peraturan perundangan kehutanan.

Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sedikit mengalami kelemahan dalam membuktikan pelaku utama dan para beking dalam kasus illegal logging. Mengapa ? karena menurut UU Kehutanan, pelaku illegal logging adalah mereka yang dengan sengaja melakukan penebangan, membawa, menguasai, dan mengangkut kayu tanpa izin-izin yang sah. Semua aktifitas ini tidak pernah dilakukan oleh pelaku intelektual dan para beking illegal logging. Hal ini semua dilakukan oleh buruh tebang dan pemilik alat angkut, merekalah yang selalu dijerat hukum.

Keterlibatan Uni Eropa

Permasalahan utama gagalnya penegakan hukum illegal logging adalah terlalu digdayanya aktor intelektual illegal logging untuk ditembus hukum. Kekebalan pelaku illegal logging terhadap hukum dikarenakan keterkaitannya dengan institusi pemerintah dan oknum pejabat sipil maupun militer yang membekingi usahanya sehingga pelaku sangat sulit untuk dijerat dengan hukum.

Penyelundupan kayu dari Indonesia sebagian besar masuk ke negara-negara di Asia dan Eropa. Uni Eropa merupakan salah satu penerima utama kayu liar, namun telah gagal menerapkan kebijakan untuk menghentikannya. Tahun 1999, Uni Eropa mengimpor 10 juta meter kubik kayu dimana nyaris setengahnya berasal dari tiga negara – Indonesia, Brazil, dan Kamerun (Timber Traficking, TELAPAK/EIA, 2001). Tingginya tingkat penebangan liar di tiga negara tersebut, disinyalir setengah dari kayu yang diimpor ke Uni Eropa merupakan kayu liar, senilai US$ 1,5 miliar per tahun.

Dari negara anggota Uni Eropa, Inggris merupakan pengimpor kayu liar terbesar, tahun 1999 inggris mengimpor 1,6 juta meter kubik kayu, dimana 92 persennya berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Brazil. 60 persen kayu yang diimpor ke Inggris merupakan kayu liar senilai US$ 200 juta. Negara Inggris sendiri bertanggung jawab atas seperlima kayu tropis liar yang memasuki Uni Eropa (Timber Traficking, TELAPAK/EIA, 2001).

Negara berikutnya yang terlibat impor kayu illegal adalah Perancis, dimana setengah dari 900 ribu meter kubik impor tahunannya merupakan kayu liar, disusul Belgia, Jerman, dan Belanda. Perilaku konsumsi kayu Uni Eropa yang tidak mengindahkan asal-usul kayunya membuat mereka secara langsung bertanggung jawab atas kerusakan hutan di negara-negara tropis, terutama Indonesia. Konsumsi kayu tropis mereka setara dengan penebangan hutan seluas 700 ribu hektar setiap tahunnya.

Masuknya peredaran kayu illegal di Uni Eropa ini dapat dilihat dari laporan pemerintah Indonesia mengenai ekspor produk kayu yang dilakukan secara resmi, dimana terjadi ketidak sesuaian atau selisih antara kayu yang di kirim oleh Pemerintah Indonesia dengan kayu yang diterima oleh negara-negara Uni Eropa, proses ini dilakukan dengan cara mencuci kayu (timber laundry) disejumlah negara transit. Pasokan kayu tersebut tercatat pada daftar impor negara-negara konsumsi kayu namun tidak terlaporkan dalam data ekspor kayu di Indonesia.

Celah Hukum Perundangan

Setidaknya ada tiga instrumen perundangan yang mengakomodir dan mengatur sektor kehutanan, yaitu; UU 41/1999 tentang kehutanan, UU 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, UU 5/1992 tentang konservasi sumber daya alam.

Pasal 50 UU No.41/1999 menyebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan pelarangan yang terjadi pada pengelolaan sumber daya hutan antara lain; menebang tanpa izin, menebang dekat sumber air (waduk), menebang tidak sesuai izin, menebang dikawasan lindung dan taman nasional, membunuh satwa dan pohon yang dilindungi, menyelundupkan kayu, memproses kayu illegal, menyuap petugas kehutanan, gagal bayar dana reboisasi dan PSDH.

Pasal 15 dan pasal 18, UU No.23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mencatatkan hal yang berhubungan dengan pelarangan terhadap upaya-upaya perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Usaha-usaha yang berdampak besar kepada penghancuran lingkungan hidup tanpa memiliki analisa dampak lingkungan (pasal 15), tidak memiliki/memperoleh izin usaha (usaha-usaha yang berdampak besar terhadap LH) yang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundangan (pasal 18).

Pasal 19, 21, 22, dan 33, UU No. 5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam juga mencatat pelarangan-pelarangan yakni; menebang tumbuhan yang dilindungi, kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi, zona inti dan zona lainnya dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, mengangkut kayu yang tidak sesuai dengan ketentuannya, menyimpan-memiliki dan atau memperdagangkan tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

Implementasi ketiga perangkat hukum ini belum efektif dan terkesan lemah dalam memberantas illegal logging, karena secara hukum undang-undang tersebut tidak mampu membuktikan pelaku utamanya. Justru yang seringa dijerat hukum adalah buruh penebang dan pemilik jasa angkutan yang dibayar oleh pelaku utama atau aktor intelektualnya.

Illegal logging tidak cukup ditekan hanya dengan cara mengikuti gerakan kayunya (log tracking audit dan certivication). Pengejaran pelaku illegal logging berdasarkan pergerakan kayu, hanya bisa menangkap pelaku-pelaku lapangan. Perlu adanya sejumlah terobosan hukum lainnya untuk menjerat dan menghukum pelaku utama illegal logging. Menurut Willem Pattinasary (Koordinator Indonesia Working Group on Forest Finance), Cara lain yang dapat dipakai adalah melakukan langkah pencegahan dari sisi keuangan dengan menelusuri aliran uang (follow the money).

Menggunakan UU PPATK

Indonesia sudah memiliki UU pencucian (UU No. 15/2002), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun dibentuk untuk menangani masalah pencucian uang di Indonesia. Selain polisi dan jaksa, PPATK akan bekerja sama dengan lembaga keuangan seperti perbankan, asuransi, pasar modal serta berbagai lembaga untuk mencegah dan memberantas pencucian uang yang terjadi di Indonesia.

UU Pencucian Uang telah direvisi menjadi UU No. 25/2003 dengan memasukkan sektor kehutanan ke dalamnya sebagai salah satu bidang yang memiliki risiko terjadinya pencucian uang. Jika dikaitkan dengan masalah illegal logging yang terjadi di Indonesia, masuknya bidang kehutanan memberikan alternatif dan terobosan baru dalam upaya memecah kebuntuan dalam memerangi illegal logging

ATJEH OORLOG

Pada tanggal 12 Mei 2000, adalah hari dimana sejarah baru tentang perdamaian di Aceh. Sebenarnya perjanjian damai ini sudah tak asing lagi di telinga rakyat Aceh sendiri. Namun, yang menarik dari ini adalah damai yang bertajuk referendum setelah perang berkecamuk dan ingin berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tersayang ini. Di Bavois (Swiss) dan di Aceh, adalah tempat terpisah yang menjadi mediator penghentian pertikaian ini saat perwakilan RI dan GAM menandatangani perjajnjian damai itu.

Berita damai pun disambut hangat dengan rasa bangga disetiap kampung-kampung Aceh ini. Akan tetapi disela itu masih ada pihak-pihak yang masih saja mengeruti niat baik agar darah tumpah lagi ini. Berarti jika damai dengan perjanjian jangan dikira tak ada lagi perang atau pembantaian berlanjut. Lihat saja ulah pasukan siluman yang masih berkeliaran di jalanan dan disudut-sudut kampung yang sunyi. Bisa kita saksikan sendiri, atau sekabar dari media massa sejak DOM dicabut, pembunuhan di Aceh malah marak dan terang-terangan tak kenal ampun. Jika boleh saya mengusik sedikit saya ingin menagajak anda mengingat tentang kekejaman itu anda pasti teringat tentang banyaknya sekolah yang dibakar, kasus Teungku Bantaqiah, Simpang KKA, atau catatan-catatan yang tak pernah berakhir keadilan bagi para korban atau keluarganya.

Atas dasar ketidakpuasan itu akhirnya pihak GAM kembali menuntut pisah dari NKRI akan tetapi hal ini dianggap angin lalu oleh RI. Melirik dendam itu GAM akhirnya membrontak dan perang bergejolak lagi di tanoh seuramoe mekkah. Perang ini menjadi perang yang bisa dikatakan sangat luar biasa dalam catatan perang saudara di Indonesia. Adalah tingkah Ryamizard Ryacudu yang bertindak sebagai panglima operasi tak segan-segan mengutus puluhan ribu tentarannya untuk bersiap membasmi kelompok sparatis. Ryamizard sendiri waktu itu pernah mengrutu “di Aceh, TNI seperti perang-perangan, tapi matinya beneran”(editorial damai. 2005).

Perang sengit kembali terjadi dimana sekawanan pasukan GAM dikepung di Paya Cot Trieng, Aceh Timur. Ribuan tentara dikerahkan untuk mematiakan musuh besar TNI di Aceh yang kabarnya hanya berkisar 10 orang. Tank dan pesawat tempur juga ikut meramaikan. Setelah seminggu terus terpenjara dalam kepungan TNI akhirnya GAM mengisyaratkan mundur. Isyarat itu langsung ditindak serius oleh TNI dengan menyisir kawasan yang dikepung dengan bermaksud membersihkan dan menagkap tentara GAM, alhasil paya Cot Trieng yang menghebohkan itu ternyata kosong dan berbekas arang-arang sisa pasukan GAM masak. Seperti mengenpung orang “kemping” saja. Benar-benar usaha yang melelahkan.

Pada 9 Desember 2002 di Jenewa Swiss, Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) ditandatangani. Hal ini terjadi atas usaha Gus Dur yang menindaklanjuti ketika Megawati Soekarnoputri menghuni Buitenzorg. Saat itu ‘Cut Nyak’ bersua untuk menghentikan pertumpahan darah dan apa daya ia sudah kadung berjanji tak akan menumpahkan setetespun darah di Aceh.

Perjanjian yang untuk kesekian kalinya terjadi di Negeri orang itu disambut dengan haru oleh masyarakat Indonesia dan rakyat Aceh khususnya. Ritual agama pun dijadikan mediator perayaan. Orang-orang memenuhi setiap mesjid-mesjid, meunasah-meunasah, sekolah-sekolah dan diperkantoran hanya untuk berdoa dengan memacakan Al quran – surat Yasin. Hal ini merupakan ritual adat orang Aceh dalam mensyukuri nikmat dari Allah swt.

Banyak yang mengira suasana di Aceh tak meriah menyambut datangnya harapan baru ini. Semua itu hanya asumsi yang kini menemukan jawabannya. Lihat saja saat wakil GAM dan RI berpose bersama di depan Masjid Raya Baiturrahman. Tempat di mana Kohler meregang nyawa di ujung rencong. Jenderal Endriartono Sutarto dan Pangdam Iskandar Muda Mayjen Djali Jusuf melakukan sujud syukur bersama di Lhokseumawe dan masih banyak kalangan yang peduli damai merasa harus mensyukuri nikmat damai ini. Belum lagi anggota TNI/Polri dan GAM yang bisa duduk santai di warung kopi sembari menyembunyikan senjata mereka karena ada larangan tidak boleh mempertontonkan bedil di muka umum.

Yang patut dijadikan sebagai momen penting era perdamaian baru ini adalah damai yang perdamaiannya benar-benar dipantau dan di-manage dengan lebih rapi. Pihak ketiga dari masyarakat internasional dilibatkan di lapangan. Tapi umurnya hanya lima bulan. Kantor-kantor Joint Security Committee (JSC) dibakar di Takengon dan Tapaktuan. Satu per satu anggota JSC dibunuh. Program penarikan pasukan ke Jakarta dan penggudangan senjata oleh GAM berantakan di tengah jalan. GAM melakukan rapat-rapat terbuka, merekrut anggota baru, dan secara resmi mengakui pungutan dengan nama pajak nanggroe. Situasi makin carut marut, silang sengkarut.

Dari jakarta sendiri dikabarkan bahwa Markas Besar Cilangkap menginginkan perang. Masyarakat dikondisikan dengan ujung tombak media massa sebagai pemandu sorak-nya. Banyak media massa memuat berita tentang perang Aceh saat itu. beerita-berita Aceh yang digarap dengan kualitas yang tak kalah memprihatinkan. Dari itulah sebabnya status darurat diperpanjangan hingga tiga kali antara Mei 2003 hingga Mei 2005. Media telah berhasil memompakan rasa nasionalisme semu, bahwa mempertahankan NKRI harus sama dengan menumpahkan darah orang Aceh.

Perang terus berlanjut di Aceh, dan satu persatu rakyat sipil menjadi korban. pembantaian dan perampokan kembali marak, satu persatu sarana umum hangus dilalap api akibat ulah mereka yang tidak pernah merasa bersalah akan hal ini. dari catatan perang di Aceh yang menjadi korban lebih banyak dari sipil sendiri. dari hal itu menumbuhkan rasa dendam yang bermula mereka ingin berperang agar keadilan dapat mereka capai.

Hingga saatnya status darurat militer pun diringankan menjadi darurat sipil. Mengingat Aceh yang kian hari mulai kondusif karena banyaknya anggota GAM menyerahkan diri. Mereka yang menyerahkan diri pun kian menuai rasa was-was karena dianggap `cuak` atu penghianat komunitas. Maka mereka menjalani hari-hari didalam rumah tahanan yang tersebar di Indonesia.

26-12-2006, gelombang raya merenggut kembali banyak nyawa di aceh. Prahara tsunami pun menuai hitam ditrengah hiruk pikuk orang menagani bantuan dari dalam maupun luar negeri. kacauan kembali terjadi saat banyak mobil-mobil bantuan di jarah dan dirampok ditengah jalan menuju Banda Aceh. Ada yang bilang itu GAM akan tetapi banyk juga kalangan yang berasumsi bahwa itu hanya ulah pihak ketiga (OTK) yang ingiin membuat Aceh kembali kisruh. Tsunami tak hanya menyisa kuburan masal yang stiap tempat dihuni oleh puluhan ribu jiwa, akan tetapi tsunami juga meninggalkan bekas perih dan trauma yang menusuk jiwa bagi semua rakyat Aceh.

15 Agustus 2005 dari Helsinski hingga Indonesia masyarakat Aceh bersujud sykur atas tercapainya Mmemorandum Of Undesrtanding (MoU) antara GAM dengan RI. Dalam hal ini GAM menyerahkan semua senjatanya untuk dimusnahkan dan dari pihak RI menarik sebagian pasukan dan memulangkan semua pasukan non-organik (BKO) yang dikabarkan pasukan paling kejam dalam hal ‘menyita’ hak manusia. Damai kali ini juga meminta perhatian banyak kalangan hingga dibentuk sebuah tim pemantau asing yang diberi nama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang tugasnya menjaga betul-betul perdamaian ini dapat terlaksana untuk masyarakat Aceh.

Serasa damai betul-betul datang membawa berkah, hampir semua kalangan menemukan kenyamanan dalam segala hal. Hak-hak mereka yang dulu ‘dirampok’ penguasa seakan kini betul-betul merasa nyaman di Aceh. Sosialisasi pun mulai gencar, hampir setiap sudut desa ada penyuluhan hasil yang dicapai di Helsinski.

Syukur pada damai seakan ‘terkoyak’ saat melirik upacara peringatan satu tahun perdamain ini. Disela-sela puluhan ribu masyarakat Aceh memadati Mesjid Raya Baitulrahman dan berorasi untuk semua kalangan dapat menjaga damai ini dengan semestinya. Namun, sempat-sempatnya pemerintah Indonesia memperingati ulang tahun yang pertama ini dengan acara yang bertajuk budaya dan seni. Upacara yang dipusatkan di Ulee Lheu itu hanya dihadiri oleh Perwakilan RI ada Yusuf kala dan jajaran pemerintah provinsi NAD, dari pihak GAM sendiri diwalkili oleh Malik Mahmud, Muzakir Manaf dan jajaran dari KPA, ada ‘mas’ Peater Piet dari AMM dan jajarannya, disaana ada yang mulia Madem Arti Sari selaku mediator damai kali ini. Lengkap sudah catatan harian ‘penikmat’ damai Aceh.

Yang menyedihkan acara ini hanya dinikmati oleh kalangan pejabat saja. Toh rakyat aceh bukan pemilik damai sepenuhnya. Tak ada undangan terbuka untulk hal ini apalagi mengharap yang special. Alangkah sedihnya ketika seorang ibu kawan saya Sri Maryati yang jauh-jauh dari Aceh selatan hanya ingin melihat anaknya membawakan tarian kapal dan seudati yang dilakukan secara massal bersama ratusan penari lainnya harus menuai cerita sedih. Mereka dihadang dipintu masuk sangat jauh dari pusat kegiatan. Katanya hanya orang yang mempunyai undangan yang dipebolehkan masuk.

Apakah catatn perdamaian Aceh akan selamanya tercoreng kotor akibat ulah-ulah penguasa yang selalu ‘pintar’ membuat ulah. Jika kita tidak menjaga damai kali ini. Tak mustahil perang akan kembali. GAM kini belum resmi dibubarkan dan masih banyak sisa-sisa dendam. Jika damai ini berupa janji. Tnunggu akan ada yang mengingkari. Atau saja ada pihak lain yang rindu perang dan rakus kekuasaan hingga menjadikan rakyat kecil menjadi tumbal ritual perang perebut kekuasaan itu.

Sejarah sekali lagi akan membuktikan bahwa penguasa yang berkuasa. dalam rentang sejarah di atas, bisa jadi semua ini hanya sambungan dari sebuah cerita panjang saja. Dengan menyelipkan sisa-sisa kabar tsunami, dan mungkin saja ini adalah bab-bab akhir dari sebuah buku yang penulisnya sendiri tak pernah tahu kapan dan bagaimana mengakhirinya. Cerita yang selalu menunggu waktu menjadi beku untuk berakhir. Pun kita sendri yang tidak pernah menyadari bahwa jika kita sendiri yang tidak menjaganya, pasti ada yang akan mencoba mengingkarinya. Sekabar berita yang pernah menyatakan Aceh menjadi peta kematian bercatatan pinggir hitam dan penuh coretan merah. Damai ini akan menjadi obat penyembuh luka dendam pada korban perang Aceh. Syukur, untuk pertama kalinya, kata “merdeka” mulai dicoret dalam kamus GAM. Mungkin mengisyaratkan akhir dari segala pertikaian ini.

Mari sama-sama kita menjaga damai ini dengan baik dan benar-benar damai untuk rakyat Aceh. Bukan untuk penguasa yang haus kematian!

Dari penulis:

Akmal MR adalah penulis lepas dan pegiat sastra. Aktif di Teater Gemasastrin Unsyiah.


GURU PAHLAWAN PENDIDIKAN TANPA TANDA JASA

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya. Bangsa Indonesia jika ingin menjadi bangsa yang besar harus menghargai pahlawan-pahlawannya.

Arti kata ‘pahlawan’ janganlah kita artikan secara sempit hanya sebagai pahlawan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kata ‘pahlawan’ harus kita definisikan dalam arti yang lebih luas yaitu seseorang yang memiliki andil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan bidang yang ia geluti masing-masing. Sehingga siapapun dan hidup dalam jaman apapun dapat menjadi pahlawan bagi bangsanya.

Dengan definisi kata pahlawan tersebut kita mempunyai banyak pahlawan yang bergelut di berbagai bidang antara lain pahlawan devisa (bagi para TKI) yang bekerja di luar negeri, pahlawan olah raga, dan pahlawan pendidikan.



Guru: Pahlawan Pendidikan



Seorang teman pernah mengatakan bahwa ungkapan ‘guru pahlawan tanpa tanda jasa’ adalah sebuah penghinaan bagi guru. Rekan tersebut tentu mempunyai argument-argumen yang masuk akal atas peryataannya tersebut.

Bila kita telaah lebih lanjut pernyataan ‘guru pahlawan tanpa tanda jasa’ memang ada bagian yang dapat ‘dimanfaatkan’ oleh pihak-pihak tertentu. Kata-kata ‘tanpa tanda jasa’ sangat rentan disalahartikan dan disalahgunakan oleh oknum-oknum penyelenggara negara. Sebagai akibatnya guru (sampai saat ini) belum mendapatkan kesejahteraan yang layak sesuai dengan kompleksitas tugas-tugasnya.

Dengan memanfaatkan bahwa guru adalah ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ maka (oknum-oknum) pejabat di pemerintah dengan mudahnya mementahkan tuntutan-tuntutan perbaikan kesejahteraan dari para guru. Sebagai akibatnya ungkapan ‘tanpa tanda jasa’ di sini diartikan dengan kesejahteraan yang rendah.

Guru adalah sebuah profesi. Hal ini berarti bahwa seorang guru berhak mendapatkan hak-haknya karena telah menjalankan profesinya. Karena profesi guru setara dan sejajar dengan profesi-profesi lainnya seperti akuntan, dokter, pengacara, advokat dan lainnya maka guru juga berhak mendapatkan tingkat kesejahteraan yang setara dengan profesi-profesi tersebut.

Selain sebagai sebuah profesi, guru juga memainkan peran sebagai pahlawan di bidang pendidikan. Kemajuan suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari majunya pendidikan negara tersebut. Bicara kemajuan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari peran sentral guru sebagai pelaku utamanya. Kualitas guru mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemajuan pendidikan suatu bangsa. Melihat kenyataan tersebut maka adalah tidak berlebihan jika dikatakan bahwa guru adalah pahlawan pendidikan. Dengan atribut ‘kepahlawanannya’ tersebut guru layak mendapatkan ‘tanda jasa’ dari pemerintah.



Sejuta Problematika Guru



Tuntutan para pendidik seolah mendapat jawaban dari pemerintah dengan adanya program sertifikasi guru. Para guru akan mendapatkan kembali hak mereka yang telah lama dihilangkan oleh negara. Mereka yang telah lulus dalam program sertifikasi guru berhak mendapatkan tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok. Sayangnya sebagai guru-guru diberikan tambahan ‘beban mengajar’ sebagai akibat dari kenaikan kesejahteraan tersebut.

Apabila sebelum menyandang status guru bersertifikat pendidik beban mengajar sebanyak 18 jam per minggu maka setelah mempunyai sertifikat pendidik beban mengajar menjadi 24 jam per minggu.

Dengan penambahan beban mengajar guru tersebut ada kesan seolah-oleh pemerintah masih setengah hati dalam meningkatkan kesejahteraan para pendidik. Pemerintah tidak mengantisipasi permasalahan yang bakal muncul dengan adanya penambahan beban mengajar guru tersebut.

Pemerintah mungkin lupa bahwa guru bukan hanya mengajar di depan kelas. Ada segunung tugas-tugas keguruan yang harus dikerjakan oleh seorang pendidik. Sebelum seorang guru menyampaikan materinya di depan siswa-siswi ia harus menyiapkan materi pelajarannya.

Juga ketika ia selesai mengajar di depan kelas ada tugas-tugas lain yang menunggunya antara lain memeriksa pekerjaan rumah dan ulangan siswa-siswi menganalisisnya lalu merencanakan program remedial dan pengayaan. Bisa kita bayangkan betapa bakal sibuknya seorang guru dengan penambahan beban mengajar sebanya 24 jam per minggu tersebut. Yang menjadi pertanyaan dan kekhawatiran kita adalah kualitas pengajaran seorang guru akan berkurang.

Sudah saatnya pemerintah untuk melihat dampak-dampak negatif yang bakal terjadi dengan kebijakan yang telah mereka buat dan jika memungkinkan memperbaikinya. Karena jika tidak maka peningkatan mutu pendidikan tidak akan terjadi, yang ada hanya guru-guru yang sibuk mengajar dengan kualitas yang dipertanyakan. Tentu kita tidak menginginkan hal tersebut terjadi.



Diskriminasi Guru (Sekolah) Swasta



Peran masyarakat di dalam ikut memajukan mutu pendidikan di Indonesia sangat besar. Indikasinya dapat kita lihat dengan banyaknya sekolah-sekolah swasta dan madrasah-madrasah swasta. Pemerintah sangat terbantu dengan partisipasi masyarakat di dalam bidang pendidikan. Diharapkan ada sinergi yang positif antara sekolah-sekolah negeri dengan sekolah-sekolah swasta yang pada akhirnya dapat memajukan dunia pendidikan.

Namun ada sebuah permasalahan yang mendera para guru (sekolah) swasta. Pemerintah masih membedakan antara guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dengan guru swasta (non-PNS) dalam hal kesejahteraan dan hak-hak lainnya. Semestinya pemerintah tidak membeda-bedakan antara guru negeri dengan guru swasta. Baik guru negeri maupun guru swasta kedua-duanya memiliki peran dan andil yang sama dalam memajukan mutu dunia pendidikan Indonesia. Oleh karena itu karena memiliki peran dan andil yang sama sudah sepantasnya tidak ada perbedaan prinsipil antara guru berstatus PNS dan guru non-PNS baik dalam tugas maupun dalam kesejahteraan.

Tanggal 10 Nopember adalah hari yang bersejarah yang kita kenal dengan hari pahlawan. Guru menurut definisi baru yang lebih luas juga merupakan seorang pahlawan khususnya pahlawan di bidang pendidikan. Pernyataan atau ungkapan ‘guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa’ sudah seharusnya kita tinjau ulang. Sudah saatnya guru mendapatkan ‘tanda jasa’ atas peran dan andilnya dalam pembangunan khususnya pembangunan di bidang pendidikan. Sekaranglah saat terbaik bagi pemerintah untuk memberikan ‘tanda jasa’ yang layak dan sesuai kepada guru, sang pahlawan pendidikan nasional.

Followers

Pasang Iklan Rumah Wirausaha

Link Blog

NEWS

« »
« »
« »
Get this widget
 

Copyright © 2009 by Ricky Ikhwan

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger