Sabtu, 02 Juni 2012

Adat dan Hukum di Aceh


Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat gampông atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat.

Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampông dan mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun diatur oleh lembaga adat yang sudah terbentuk. Lembaga-lembaga adat yang dimaksud seperti;
Panglima Uteun
Panglima Laot
Keujruen Blang
Haria Pekan
Petua Sineubok

Semua lembaga ini berperan di posnya masing-masing sehingga pengelolaan sumber daya alam di gampông terpelihara.

Dalam hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan menasihati.Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah dihadapan orang banyak (biasanya di meunasah atau mesjid), kemudian baru dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.

Lahirnya UU no.11 tahun 2006 memperlihatkan pemerintah Indonesia telah mulai berpihak kepada rakyat Aceh. Di sana mulai diakui keberadaan mukim dan gampông serta lembaga adat lainnya. Dijelaskan dalam bab XIII pasal 98, bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Lembaga-lembaga adat dimaksud ada yang di tingkat gampông dan ada yang di tingkat mukim.

Demokrasi Melahirkan Oligarki


BEBERAPA waktu lalu, ketika beberapa partai politik mendeklarasikan koalisi kebangsaan untuk menyukseskan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, sebagai calon presiden (capres) dalam pemilu langsung 20 September, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga seorang capres menuduh koalisi ini adalah perwujudan dari kepemimpinan oligarkhis. Menurutnya, koalisi ini berpotensi mengancam demokrasi, karena kepentingan rakyat bertabrakan dengan kepentingan elite partai. Karena itu, sebagai kontraaksinya, SBY kemudian mencetuskan apa yang disebutnya koalisi rakyat.

Tak pelak, tafsir SBY mendapat sanggahan dari elemen dalam koalisi tersebut. Ade Komaruddin, wakil ketua Fraksi Partai Golkar mengatakan, SBY telah melakukan kesalahan semantik, karena oligarki berarti kekuasaan dipegang oleh segelintir orang. Sementara koalisi adalah keputusan banyak orang dari beragam institusi (Kompas, 19/8/2004). Bantahan senada dilakukan Heri Akhmadi, sekretaris Mega-Centre, yang menganggap SBY tak paham politik karena tidak bisa membedakan antara koalisi dan oligarki. Heri justru mengritik balik konsep yang diusung SBY yakni, koalisi dengan rakyat karena hal tersebut bersifat manipulatif karena suara rakyat telah diwakilkan kepada partai politik dalam pemilu (SP, 19/8/2004).

Tulisan ini mau menguji tafsir SBY dan kontra tafsir terhadap SBY mengenai oligarki. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kepemimpinan oligarkis, dan bagaimana ia bekerja. Adalah Plato dalam magnum opusnya Republic, yang pertama kali mengkonstatasi oligarki sebagai kekuasaan yang dipegang oleh segelintir orang. Tetapi, yang dianggap paling otoritatif dalam studi klasik tentang oligarki adalah Robert Michels (1959). Menurut Michels, bentuk oligarki yang paling utama adalah pada sistem monarki dimana prinsipnya adalah sic volo sic jubeo, inilah kehendakku, dan berdasarkan itulah aku memerintah. Masa kekuasaan Louis XIX Perancis, dianggap sebagai representasi kepemimpinan oligarkis. Pada zaman modern, kepemimpinan Hitler di Jerman, Stalin di Uni Sovyet, dan Soeharto di masa rejim Orde Baru bisa dianggap sebagai wujud kepemimpinan oligarkis.

Dalam perkembangan lain,

Followers

Pasang Iklan Rumah Wirausaha

Link Blog

NEWS

« »
« »
« »
Get this widget
 

Copyright © 2009 by Ricky Ikhwan

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger