Sabtu, 02 Juni 2012

Demokrasi Melahirkan Oligarki


BEBERAPA waktu lalu, ketika beberapa partai politik mendeklarasikan koalisi kebangsaan untuk menyukseskan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, sebagai calon presiden (capres) dalam pemilu langsung 20 September, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga seorang capres menuduh koalisi ini adalah perwujudan dari kepemimpinan oligarkhis. Menurutnya, koalisi ini berpotensi mengancam demokrasi, karena kepentingan rakyat bertabrakan dengan kepentingan elite partai. Karena itu, sebagai kontraaksinya, SBY kemudian mencetuskan apa yang disebutnya koalisi rakyat.

Tak pelak, tafsir SBY mendapat sanggahan dari elemen dalam koalisi tersebut. Ade Komaruddin, wakil ketua Fraksi Partai Golkar mengatakan, SBY telah melakukan kesalahan semantik, karena oligarki berarti kekuasaan dipegang oleh segelintir orang. Sementara koalisi adalah keputusan banyak orang dari beragam institusi (Kompas, 19/8/2004). Bantahan senada dilakukan Heri Akhmadi, sekretaris Mega-Centre, yang menganggap SBY tak paham politik karena tidak bisa membedakan antara koalisi dan oligarki. Heri justru mengritik balik konsep yang diusung SBY yakni, koalisi dengan rakyat karena hal tersebut bersifat manipulatif karena suara rakyat telah diwakilkan kepada partai politik dalam pemilu (SP, 19/8/2004).

Tulisan ini mau menguji tafsir SBY dan kontra tafsir terhadap SBY mengenai oligarki. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kepemimpinan oligarkis, dan bagaimana ia bekerja. Adalah Plato dalam magnum opusnya Republic, yang pertama kali mengkonstatasi oligarki sebagai kekuasaan yang dipegang oleh segelintir orang. Tetapi, yang dianggap paling otoritatif dalam studi klasik tentang oligarki adalah Robert Michels (1959). Menurut Michels, bentuk oligarki yang paling utama adalah pada sistem monarki dimana prinsipnya adalah sic volo sic jubeo, inilah kehendakku, dan berdasarkan itulah aku memerintah. Masa kekuasaan Louis XIX Perancis, dianggap sebagai representasi kepemimpinan oligarkis. Pada zaman modern, kepemimpinan Hitler di Jerman, Stalin di Uni Sovyet, dan Soeharto di masa rejim Orde Baru bisa dianggap sebagai wujud kepemimpinan oligarkis.

Dalam perkembangan lain, oligarki muncul dalam sistem aristokratik, dimana beberapa kaum yang karena kekayaan, keturunan, dan pengaruh membentuk dewan, yang kalau tidak memerintah, memberikan nasihat paling utama tentang bagaimana suatu pemerintahan dijalankan (Daniel Dhakidae, 2004). Pada masa ini, Singapura yang dikuasai oleh dinasti Lee Kuan Yew, bisa dianggap sebagai representasi kepemimpinan oligarkis. Demikian juga dengan Chile yang di masa transisi tetap menempatkan Jenderal Augusto Pinochet, penguasa kediktatoran militer sebelumnya, sebagai penasehat utamanya.

Oligarki Di Masa Demokrasi

Tetapi, kedua sistem pemerintahan di atas, monarki dan aristokratik, tentu saja berbeda dengan sistem demokrasi, dimana kekuasaan dengan sengaja melalui undang-undang dibagi-bagi. Dengan adanya pembagian cabang-cabang kekuasaan itu (termasuk pers bebas), diharapkan tidak terjadi pemusatan kekuasaan di satu tangan, karena akan terjadi apa yang disebut checks and balances.

Dalam sistem demokrasi, pengangkatan seorang pemimpin pun harus melalui jalan kompetisi dan pengambilan keputusan harus melibatkan banyak pihak, dengan kepentingan yang berbeda-beda. Dalam sistem demokrasi, yang dijadikan acuan adalah sistem bukan kemampuan individu yang luar biasa. Goenawan Mohamad (GM) sangat sering mengungkapkan bahwa dalam demokrasi kebenaran tidak ditentukan oleh orang kuat yang serba tahu. Kebenaran justru berasal dari orang-orang ramai dengan kemampuan yang terkadang sangat biasa. Demokrasi, oleh GM diibaratkannya seperti pasar dimana semua orang berkumpul dan bertumpuk di sana dan melakukan tawar menawar untuk mencapai kesepakatan, walaupun kadangkala kesepakatan yang diambil bukanlah yang terbaik.

Dengan pagar-pagar yang dibangun sedemikian rupa, ada semacam keyakinan bahwa dalam sistem demokrasi kekuasaan oligarki terpenjara. Ia dipenjarakan oleh sistem yang bekerja secara rasional, yang nantinya menyeleksi beragam kepentingan individu dan kelompok yang ada di dalamnya. Tetapi menurut Michels, demokrasi gagal menghentikan kecenderungan oligarkis untuk muncul ke permukaan. Apalagi dalam sistem demokrasi prosedural dimana faktor kelembagaan (organisasi) menempati kedudukan yang sentral. Bagi Michels, dinamika organisasi selalu ditentukan oleh faktor intelektualitas, finansial, dan kepemimpinan. Dan ketiga faktor ini selalu direpresentasikan oleh elite, bukan oleh massa dengan kemampuan yang beragam, yang menyebabkan organisasi tersebut jatuh dalam kekuasaan oligarki. Kata Michels (1959),

“It is organizations which gives birth to the dominion of the elected over the electors, of the mandatories over the mandators, of the delegates over the delegators. Who says organization, says oligarchy.”

Adalah organisasi yang menyebabkan lahirnya kedaulatan para wakil atas pemilih, yang diberi mandat atas pemberi mandat, para delegasi atas pemberi delegasi. Siapa yang bicara organisasi, bicara oligarki.

Memang analisa Michels lebih ditujukan pada internal organisasi, ketimbang hubungan antar organisasi. Baginya, organisasi adalah pertarungan tanpa henti antara kepentingan massa dengan kepentingan elite. Dalam konteks ini, kritikan Ade Komaruddin terhadap SBY bisa dipahami. Namun, studi mutakhir tentang demokrasi menunjukkan, oligarki tidak hanya terjadi di internal partai tapi juga di antara partai yang berkuasa. Studi Adam Przeworski dalam bukunya Sustainable Democracy (1999), memperlihatkan bahwa kontrol terhadap dominasi politik dilakukan melalui birokrasi oligarki untuk menjadikan partai sekadar mesin pendulang suara pemilih dan konstituennya. Birokrasi oligarki ini membentuk kartel yang berkewajiban untuk menentang para pesaingnya sekaligus untuk membatasi kompetisi, menghalangi akses, dan mendistribusikan keuntungan kekuasaan politik di antara para anggota kartel. Mereka inilah yang kemudian menciptakan bahaya bagi demokrasi, karena menjadikannya sebagai proyek individual beberapa pemimpin partai politik dan asosiasi-asosiasi korporatisnya yang menghasilkan keuntungan bagi mereka dan melindungi uangnya dari pihak luar. Dalam konteks ini tafsir SBY terhadap koalisi kebangsaan yang mendukung Megawati-Hasyim Muzadi, menjadi relevan.

Oligarki Transnasional

Saat ini, ketika kita membicarakan kosakata demokrasi, ia tak bisa dilepaskan dari konteks ekonomi-politik yang melingkupinya kini, yakni neoliberalisme. Dalam sistem ekonomi-politik neoliberal, teori tentang oligarki mengalami perkembangan pesat. Titik pusat kajiannya tidak hanya berkutat pada internal organisasi a la Michels, atau sedikit meluas antar organisasi a la Przeworski. Dalam alam neoliberal, pengambilan kebijakan di tingkat nasional dipercaya tidak lagi bergantung pada kondisi nasional tapi, berjalin berkelindan dengan faktor-faktor internasional.

Adalah William I. Robinson, dalam bukunya “A. Theory of Global Capitalism Production, Class, and State in a Transnational World,” (2004) yang mengajukan bentuk baru oligarki di masa neoliberal yang disebutnya, Transnasional State (TNS). Pada buku lain, Robinson mengatakan oligarki yang terbentuk di masa neoliberal ini adalah “oligarki transnasional” atau Poliarchy. Robinson mengatakan, aparatus TNS ini adalah jaringan yang terbentuk dari negara bangsa yang terintegrasi secara eksternal dan tertransformasi bersama dengan ekonomi supranasional dan forum-forum politik. Forum-forum ekonomi terdiri dari IMF, Bank Dunia, WTO, bank-bank regional, dan sebagainya. Sedangkan forum-forum politik terdiri dari negara-negara yang tergabung dalam Group of Seven (G-7) dan 22 negara besar lainnya, di samping PBB, Organization for Economic Cooperation dan Development (OECD), the European Union (EU), the Conference on Security and Cooperation in Europe (CSCE), dan sebagainya.

Di dalam forum-forum itu, bercokol segelintir orang yang berkantor di gedung-gedung bertingkat tinggi dan bergelimang kemewahan, yang hidup bagaikan para kaisar atau raja-raja di zaman feodal. Merekalah yang menentukan gerak maju dan mundur, masuk dan ke luar arus uang, barang, dan jasa. Para elite inilah menentukan lokasi dan besaran investasi, mereka terdiri dari pemilik-cum manajer perusahaan-perusahaan multinasional, lembaga-lembaga dana multilateral, serta elite politik dan elite militer yang menguasai negara bangsa. Ketika mereka berbincang tentang kebebasan (freedom), hal itu bermakna freedom of investment, freedom of capital flows, and freedom of trade in all goods and all services including living organism and intellectual property.

Dalam perspektif TNS ini, baik tudingan SBY maupun sanggahan Ade Komaruddin dan Heri Akhmadi tentang kepemimpinan oligarkis menjadi tidak relevan. Jika kita melihat struktur partai, sistem kaderisasi, intelektualitas, pembiayaan, kepemimpinan, dan program-program yang ditawarkannya, baik SBY maupun para pengritiknya sesungguhnya merupakan bagian atau telah membentuk oligarki itu sendiri. Dengan sendirinya, perdebatan mengenai kepemimpinan oligarkis ini adalah perdebatan di antara sesama oligarkh yang berbeda secara fraksional.

Kini, pertarungan menuju RI1 hampir usai, dengan pasangan SBY-Kalla dipastikan meraup kemenagan mutlak. Sebentar lagi kita akan menyaksikan postur kekuasaan yang baru, apakah mereka mampu melepaskan diri dari belitan kekuasaan TNS atau justru bergandeng mesra dengannya. Dugaan saya SBY-Kalla adalah bagian dari oligarki transnasional itu.***

Comments :

0 komentar to “Demokrasi Melahirkan Oligarki”

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by Ricky Ikhwan

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger